Bukan rahasia lagi bahwa pemerintah saat ini sedang sibuk mencetak SDM-SDM Indonesia yang berkualitas sehingga nantinya dapat bersaing dengan SDM negara lain. Dengan mengirim para tenaga yang ahli dibidangnya untuk melakukan study banding, diharapkan nantinya mereka dapat menularkan ilmu yang mereka dapatkan untuk pembangunan fisik maupun mental Indonesia.
Salah satu dosen yang sempat menikmati studi banding di negara Jerman, Australia, Cina dan Korea untuk bidang keolahragaan adalah Prof. Dr. H. Hari Setijono M.Pd. Selain pernah menjabat sebagai Deputi V di Kementrian Negara, Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora) di bidang Peningkatan Prestasi dan Iptek Olahraga, bapak 3 anak ini juga menjabat sebagai direktur Achiles Sport Science & Fitness Centre Unesa. Kesibukan beliau saat ini adalah merintis sport access bertaraf nasional di SSFC Unesa. Sport access ini nantinya akan menjadi pusat data atlet se Indonesa, yang dapat diakses kapanpun dan dimanapun.
Ide merintis sport access ini didapatkan beliau setelah mengikuti studi banding di Australia International Sport Science. Selain meceritakan tentang sport access, dosen senior di Fakultas Ilmu Keolahragaan ini juga menjelaskan perbedaan sistem pendidikan di Indonesia dengan negara lain yang pernah beliau kunjungi. “Kalau di luar negeri, S2 dan S3 sudah melakukan pendalaman ilmu murni (spesifikasi dibidangnya masing-masing). Apabila mereka sudah berbicara tentang sport science maka sudah membahas aspek-aspek paling kecil yang ada didalamnya. Begitu masuk, mereka ini sudah sesuai dengan bidangnya masing-masing,” jelas bapak yang pernah menerima penghargaan sebagai dosen teladan nasional oleh Presiden RI ini. Lebih lanjut beliau menambahkan, “Begitu mahasiswa masuk, mereka sudah punya penanggung jawab sendiri yaitu salah satu guru besar di kampusnya. Mereka yang punya prestasi nasional-Internasional otomatis masuk dan nantinya mereka menjadi pelatih. Jadi ketika masuk status mereka adalah atlet ketika keluar berstatus pelatih.”
Menurut beliau disinilah letak perbedaan kualitas antara pelatih Indonesia dengan pelatih di negara lain. “Di Indonesia S2 dan S3 materinya masih terlalu luas dan juga banyak mengarah kependidikanya, masih sedikit yang megarah ke-sport science. Penyebabnya adalah pada dosen pengampu (pengajar) yang mepunyai keterbatasan. Padahal sport science ilmunya banyak sekali”, jelas bapak yang berpengalaman melatih fisik tim sepakbola Petrokimia Putra Gresik.
Selain terbatasnya SDM, kurang lengkapnya laboratorium olahraga juga menjadi salah satu kendala nasional yang harus segera ditangani karena hal ini juga yang menjadi salah satu faktor menurunnya prestasi atlet Indonesia. “Seharusnya yang diterima dijurusan kepelatihan adalah atlet yang nantinya akan disiapkan menjadi pelatih. Atlet yang pernah membela negara level nasional-Internasional harusnya langsung bisa masuk Universitas. Selain karena mereka aset, hal itu juga merupakan implementasi Undang-undang Olahraga, 'bahwa atlet nasional-Internasional wajib menerima penghargaan' bisa berbentuk study atau pekerjaan,” jelas Prof. Hari. “Tak banyak atlet berprestasi belum bisa masuk Unesa dengan mulus. Mereka biasanya terganjal dari tes. Kalau tes kemampuan dengan bobot 100, tes pengetahuannya punya bobot hampir 300. Padahal atlet tidak bisa terus-terusan disekolah, mereka juga harus latihan di lapangan. Kalau hal ini tidak segera diatasi maka kualitas olah raga tidak bisa meningkat, paparnya”
Herlina M. Arief
Ide merintis sport access ini didapatkan beliau setelah mengikuti studi banding di Australia International Sport Science. Selain meceritakan tentang sport access, dosen senior di Fakultas Ilmu Keolahragaan ini juga menjelaskan perbedaan sistem pendidikan di Indonesia dengan negara lain yang pernah beliau kunjungi. “Kalau di luar negeri, S2 dan S3 sudah melakukan pendalaman ilmu murni (spesifikasi dibidangnya masing-masing). Apabila mereka sudah berbicara tentang sport science maka sudah membahas aspek-aspek paling kecil yang ada didalamnya. Begitu masuk, mereka ini sudah sesuai dengan bidangnya masing-masing,” jelas bapak yang pernah menerima penghargaan sebagai dosen teladan nasional oleh Presiden RI ini. Lebih lanjut beliau menambahkan, “Begitu mahasiswa masuk, mereka sudah punya penanggung jawab sendiri yaitu salah satu guru besar di kampusnya. Mereka yang punya prestasi nasional-Internasional otomatis masuk dan nantinya mereka menjadi pelatih. Jadi ketika masuk status mereka adalah atlet ketika keluar berstatus pelatih.”
Menurut beliau disinilah letak perbedaan kualitas antara pelatih Indonesia dengan pelatih di negara lain. “Di Indonesia S2 dan S3 materinya masih terlalu luas dan juga banyak mengarah kependidikanya, masih sedikit yang megarah ke-sport science. Penyebabnya adalah pada dosen pengampu (pengajar) yang mepunyai keterbatasan. Padahal sport science ilmunya banyak sekali”, jelas bapak yang berpengalaman melatih fisik tim sepakbola Petrokimia Putra Gresik.
Selain terbatasnya SDM, kurang lengkapnya laboratorium olahraga juga menjadi salah satu kendala nasional yang harus segera ditangani karena hal ini juga yang menjadi salah satu faktor menurunnya prestasi atlet Indonesia. “Seharusnya yang diterima dijurusan kepelatihan adalah atlet yang nantinya akan disiapkan menjadi pelatih. Atlet yang pernah membela negara level nasional-Internasional harusnya langsung bisa masuk Universitas. Selain karena mereka aset, hal itu juga merupakan implementasi Undang-undang Olahraga, 'bahwa atlet nasional-Internasional wajib menerima penghargaan' bisa berbentuk study atau pekerjaan,” jelas Prof. Hari. “Tak banyak atlet berprestasi belum bisa masuk Unesa dengan mulus. Mereka biasanya terganjal dari tes. Kalau tes kemampuan dengan bobot 100, tes pengetahuannya punya bobot hampir 300. Padahal atlet tidak bisa terus-terusan disekolah, mereka juga harus latihan di lapangan. Kalau hal ini tidak segera diatasi maka kualitas olah raga tidak bisa meningkat, paparnya”
Herlina M. Arief