Powered By Blogger

Minggu, 15 November 2009

Bimbingan dan Konseling Dalam Membangun Karakteristik Bangsa


Suatu kebanggan bagi Unesa karena tahun ini Jatim berkesempatan menjadi tuan rumah dalam kongres Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) ke XI dan Konvensi Nasional XVI. Bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UM) dan Universitas Adi Buana Surabaya, Kongres ABKIN yang diagendakan setiap empat tahunan serta Konvensi Nasional dwi tahunan ini,diselenggarakan di Hotel Satelit Surabaya (15-17/11).Tema yang diangkat “Revitalisasi Bimbingan dan Konseling Untuk Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional”.

Dalam kongresnya tersebut, tidak hanya menyusun kepengurusan ABKIN dan rancangan program kerja periode 2009-2013, melainkan juga membicarakan berbagai upaya yang telah dilakukan ABKIN terhadap pengembangan profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Upaya tersebut antara lain rintisan Pendidikan Profesi Konselor (PPK), pengembangan standar kompetensi konselor, penataan pendidikan professional konselor dan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal, dan turut membidani lahirnya Permendiknas No.27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKA-KK) serta berbagai kegatan lain untuk mengokohkan eksistensi dan pengakuan publik dan pemerintah atas profesi Bimbingan dan Konseling.

Dalam sambutannya, pada pembukaan konvensi (15/11), mantan ketua ABKIN periode 2005-2009, Prof. Dr .Sunaryo Kartadinata, M.Pd, menyampaikan tentang spektrum ketenagaan yang masih menjadi persoalan dan berada pada kondisi diversifikasi yang kurang relevan perlu pekajian terhadap kompetensi, pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan lisensi yang seharusnya dimiliki oleh konselor professional. Penyelenggaraan dan diakreditasi, seiring dengan penyiapan dan peningkatan mutu tenaga guru Bimbingan dan Konseling atau konselor, serta beberapa instansi yang terkait dengan pelayanan Bimbingan dan Konseling seperti pendidikan formal, nonformal, informal dan kebutuhan khusus perlu ditelaah dari perspektif pendidikan, spir itual-keagamaan, sosio-kultural dan kesehatan.

Ketua ABKIN yang baru terpilih untuk periode 2009-2013. Prof. Dr. Mungin. Menyampaikan harapannya, “Dengan diadakannya acara ini semoga dapat menambah wawasan, memperbaiki sikap serta nilai-nilai untuk mengangkat martabat Bimbingan dan Konseling ”, serta di kumandangkan motto BK yang baru yaitu ‘Mantap, Sigap, Siap’. Komitmen Jatim terhadap Pendidikan pun disampaikan oleh Sekdaprop Jatim, H. Rasiyo. M.Si, bahwa dengan diadakannya konvensi ABKIN, para konselor utamanya konselor sekolah dapat membimbing anak yang tidak hanya cerdas secara intelegensi saja melainkan juga memiliki EQ dan SQ agar memiliki impact yang positif terhadap masyarakat. Mencakup intelegensi, perilaku serta budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada peserta didik. Dia juga berharap konselor dapat bekerja sesuai dengan regulasi yang benar sehingga siswa yang memiliki masalah dapat langsung datang sendiri pada konselornya tanpa diminta datang ke ruang BK. Dan menghilangkan citra bahwa konselor adalah polisi sekolah. Serta konselor dapat menjadikan siswanya sebagai manusia yang utuh, yang sehat baik dari segi intelegensi, moral, kinestetik serta budi pekertinya.

Seminar berskala internasional ini pun dihadiri oleh beberapa pakar di bidang konseling, baik dari dalam maupun luar negeri. Senin (16/11), seminar dibuka dengan pembicara Courtland C. Lee, Ph.D. seorang Profesor yang mengajar Counselor Education Program di University of Maryland at College Park , dia membicarakan tentang multicultural counseling, yang biasa dikenal konseling lintas budaya. Menurut President International Association for Counselling ini, ada 12 hal penting untuk melakukan konseling Lintas Budaya, Salah satunya konseling lintas budaya digunakan untuk membantu memperbaiki perilaku dan budaya. Konseling yang dijalankan oleh konselor dan konseli yang memiliki latar kebudayaan berbeda ini penting untuk dipelajari. Supaya kita menambah pengetahuan tentang perbedaan budaya dan mengasah keterampilan berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan orang yang memiliki budaya yang berbeda.

Setelah break makan siang, seminar pun dilanjutkan dengan dua pembicara yang juga pakar dibidang konseling, Prof. Dr. See Ching Mey dari Universiti Sains Malaysia dan Prof. Dr. Moh. Surya seorang guru besar dari UPI Bandung. Keduanya berbicara mengenai inovasi Bimbingan dan Konseling (BK).
Prof. Dr. See Ching Mey awalnya mengingatkan kembali kepada peserta seminar tentang beberapa tipe konseling yang telah ada, diantaranya Counseling includes crisis intervention (individual counseling, peer counseling, group counseling), marriage and family counseling, relationship counseling, career counseling, rehabilitation counseling, mental health counseling, sexual trauma counseling, AIDS counseling, abortion counseling, counseling psychology, cross-cultural counseling, disaster counseling, philosophical counseling, grief and bereavement counseling, substance abuse counseling and transgender counseling. Dari beberapa konseling di atas, tentu saja diaplikasikan dengan beberapa model konseling dari beberapa teori-teori konseling dari para tokoh konseling. Wanita dari Negeri Jiran ini mengatakan bahwa saat ini konseling berkembang dengan beberapa inovasi baru dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk terapi dalam konseling, inovasi tersebut diantaranya bio-chemical; spiritual counseling; animal assisted therapies; expressive therapies; art, play and music therapies; culturally based healing arts; hypnosis; neurofeedback; and technology-based applications in counseling.

Sedangkan Moh Surya, sapaan akrab guru besar UPI Bandung ini, berbicara tentang inovasi BK dari sudut pandang menjawab tantangan global. Moh Surya menjelaskan bahwa semua tantangan baik yang berasal dari perubahan global, nasional, maupun lokal pada gilirannya menuntut adanya inovasi bimbingan dan konseling dalam berbagai aspek dan dimensi. Sehingga kini telah banyak berkembang berbagai inovasi bimbingan dan konseling dalam teori, pendekatan, manajemen, pola-pola pelaksanaan, penelitian dan pengembangan, personil, dsb. Salah satunya dengan perkembangan teknologi terutama dalam bidang informasi dan komunikasi telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi dunia bimbingan dan konseling. Komunikasi untuk bimbingan dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Sehingga Interaksi antara konselor dengan konseli tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut.

Dari rangkaian acara ini diharapkan bimbingan dan konseling memiliki peran dan posisi yang amat strategis dalam upaya membangun watak bangsa seperti yang terkandung dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka jelas bahwa esensi pendidikan nasional adalah “membangun watak bangsa” atau “national character building”.

Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Moh. Surya, terkait dengan watak. Apakah watak itu? Watak atau karakter pada hakekatnya merupakan ciri kepribadian yang berkaitan dengan timbangan nilai moralitas normatif yang berlaku. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan kepribadiannya ditinjau dari sudut timbangan nilai moral normatif. Seseorang dikatakan memiliki kualitas watak yang baik apabila menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Watak yang utuh merupakan penampilan moralitas kepribadian secara paripurna menurut timbangan keutuhan nilai yang mencakup aspek emosional, intelektual, moral, dan spiritual.

Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam Jurnal “The ASCA Counselor” Vol. 35 no. 2 (1998), Sharon Wisniewski & Keneth Miller menyebutkan bahwa watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik yang sehat antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada, yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang maha besar dan abadi dari diri). Atas dasar pandangan itu, ada empat tingkatan kualitas watak, yaitu tingkatan 0 (nol), tingkatan satu, tingkatan dua, dan tingkatan tiga.

Watak tingkatan nol, merupakan tingkatan watak yang sifatnya sedikit atau tidak ada timbangan-timbangan moral dalam perilaku sebagai ciri-ciri kepribadiannya. Tingkatan nol ini disebut sebagai “reactive personality” atau kepribadian reaktif yaitu kepribadian yang terwujud dari perilaku-perilaku yang sifatnya reaktif. Watak tingkatan satu, merupakan watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Watak tingkatan kedua, merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Stephen Covey menyebutnya sebagai “interdependent personality” atau kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan pihak-pihak di luar dirinya. Watak tingkatan tiga, adalah watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan Maha besar di luar dirinya yaitu “Tuhan Yang Maha Kuasa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan.

Dengan memperhatikan uraian di atas, pada dasarnya makna watak yang utuh akan tercermin apabila telah mencapai pada tingkatan ketiga secara kumulatif. Dalam konteks ”national character building”, layanan bimbingan & konseling harus mampu membangun watak tingkatan ketiga sebagai watak paripurna yang dilandasi dengan nilai-nilai kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual. Semua kualitas watak itu harus menjadi haluan dari keseluruhan layanan bimbingan dan konseling.

Putri Diyanti